Dari sisi Bahasa atau estimologi,
kata demokrasi berasal dari Bahasa Yunani yakni “demos” yang berarti rakyat
atau penduduk setempat, dan “cratein” atau “kratos” yang berarti pemerintahan.
Jadi secara etimologis demokrasi adalah pemerintahan rakyat, pemerintahan
kerakyatan atau pemerintaha rakyat banyak. Dalam pengertian peristilahan atau
terminologis, Abraham Lincoln (1808-18865) Presiden Amerika Serikat yang ke -16
mengatakan bahwa “democracy is government of the people, by the people and
for people” atau “demokrasi itu adalah pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat”.[1]
Pada awal sejarahnya demokrasi hanya
dimengerti lewat model partisipasi politik langsung yang melibatkan seluruh
warga yang sudah dewasa dalam suatu proses politik. Proses politik penataan
kehidupan bersama ini dikelola secara bersama, dan inilah yang dinamakan oleh
Aristoteles sebagai bentuk Negara ideal ‘politeria’, atau yang secara modern
disebut oleh Robert A. Dahl sebagai ‘Polyarchy’, sebagai ganti dari istilah
yang kemudian lebih popular dengan sebutan demokrasi yang meluas. Jadi, ciri
utama demokrasi purba itu adalah adanya pengelolaan bersama oleh seluruh warga
polis (kota) yang jumlah penduduknya sedikit.[2]
Demokrasi adalah sebuah pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, begitulah pemahaman yang paling
sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang. Ada orang
yang membedakan antara “demokrasi substantif” dan “demokrasi prosedural”.
Mereka yang tidak puas, biasanya mengatakan bahwa demokrasi secara procedural
memang sudah terpenuhi, tapi substansinya belum, padahal demokrasi substansif
itulah yang sejati dan karenanya harus diciptakan.[3]
Definisi demokrasi yanglazim
tersebut pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat sebenarnya
definisi yang problematis dilihat dari kenyataan yang hidup di masyarakat. Ia
merupakan definisi lebih normative, bukan definisi yang betul-betul mengacu
pada sebuah entitas riil, kenyataan yang ada di dalam masyarkat. Mengapa
problematis?[4]
Karena kenyataannya rakyat tidak
memerintah. Kadang-kadang, dalam praktiknya, bahkan rakyat dalam demokrasi juga
tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Maka kalau kita memahami demokrasi
sebagai fakta nyata yang ada dalam sejarah umat manusia di manapun, terutama di
masyarakat modern dewasa ini (karena sebelum zaman modern praktik demokrasi
tidak ada), sebetulnya bukanlah demokrasi yang sejati demokrasi yang kita kenal
sekarang relative baru, produk abad ke-19, ataulebih tepat lagi: produk abad
ke-20.[5]
Pengertian demokrasi yang saat ini
lebih mengacu kepada demokrasi yang prosedur, pada cara rekrutmen orang untuk
mengisi jabatan-jabatan public yang strategis, dengan melibatkan partisipasi
rakyat yang seluas-luasnya. Jadi yang khas dalam system demokrasi adalah memang
prosedur itu, dan apabila ada orang yang menyebut “demokrasi procedural itu
hanya pleonasme, sebab memang demokrasi menyangkut prosedur, dan karena itu
dengan sendirinya “procedural”.[6]
Sedangkan yang disebut dengan
demokrasi substansif itu merupakan gagasan-gagasan yang berada diluar
demokrasi. Misalnya berbicara bahwa demokrasi adalah kekuasaan oleh rakyat, dan
yang dimaksud rakyat adalah masyarakat kelas bawah. Argument lanjutannya:
demokrasi adalah sebuah procedur untuk mencapai tujuan dan kepentingan
masyarakat bawah. Ideal seperti ini dalam praktiknya diwujudkan misalnya dalam
system komunisme. System komunis itulah yang menurut versi ini, merupakan
demokrasi yang sesungguhnya, setidaknya sebagai salah satu versi dari demokrasi
substansif.
Samuel P. Huntington dalam meneliti
mengenai transisi menuju system demokrasi antara tahun 1974 sampai 1990 sampai
pada kesimpulan bahwa definisi yang paling sahih dewasa ini untuk menjelaskan
makna demokrasi adalah dalam pengertian yang prosuderal. Sementara itu Walzer
juga mengatakan bahwa yang memerintah dalam demokrasi adalah orang yang de facto
memenangkan persetujuan lebih besar rakyat (suara mayoritas rakyat). Inilah
satu-satunya cara memperoleh dan melegitimasikan kekuasaan dalam demokrasi.
Terlihat di sini, legitimasi sosial-politis adalah dari rakyat terbesar
(mayoritas) melalui pemungutan suara (voting) sebagai ukuran yang paling sahih
dalam metode demokrasi.[7]
Ada kritik yang lazim terdengar,
terutama dari mereka yang berhaluan kiri, seperti populistik, sosialistik, atau
komunistik, bahwa demokrasi yang tentunya bermakna procedural itu dengan
sendirinya tidak adil. Prefensi mereka adalah mengakomodasi suara masyarakat
bawah, sementara dalam demokrasi suara rakyat bawah sering tidak didengar.
Masalah ini terpecahkan lewat persaingan antara para elite itu sendiri, sebab
masing-masing elite membutuhkan legitimasi dan dukungan. Maka kompetisi antara
elite-elite itu akan melahirkan kompetisi program, agenda, dan seterusnya.
Karena mereka membutuhkan dukungan dari public yang sangat luas, maka demokrasi
secara inheren akan melahirkan program-program yang popular. Kalau tidak, dia
tidak akan dipilih oleh masyarakat.
Disitulah demokrasi memberikan ruang
dan persaingan yang melahirkan kebebasan, dan dari kebebasan tersebut
terbukalah pilihan-pilihan yang paling popular dan baik dimata masyarakat. Mereka
kemudian harus memberi opsi-opsi yang lebih banyak untuk memperbaiki satu
system, untuk membuat kebijakan-kebijakan yang lebih baik dengan adanya
prosedur tersebut dan apabila tidak ada prosedur tersebut maka cara-cara untuk
mencari kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik akan tertutup, Karena tidak ada
demokrasi yang mampu menghasilkan kebijakan sekali jadi.
Secara tegas bahwa demokrasi tidak
pernah secara pasti menjanjikan untuk mengkonstruksi kebenaran dan keadilan
hakiki.keputusan yang diproduksi oleh proses demokrasi hanyalah kebenaran dan
keadilan versi mayoritas, atau suatu pandangan.
2.
Bentuk – Bentuk Demokrasi
Untuk mengetahui bentuk-bentuk demokrasi
setidaknya dapat di upayakan dengan menggunakan pendekatan dari beberapa sudut
pandang. Misalnya menggunakan tiga sudut pandang utama, yakni :
A.
dilihat dari sudut pandang
“titik tekan” yang menjadi perhatiannya, demokrasi dapat dibedakan antara :
1)
Demokrasi Formal adalah
demokrasi yang fokus perhatiannya pada bidang politik tanpa mengurangi kesenjangan
ekonomi.
2)
Demokrasi Material adalah
demokrasi yang fokus perhatiannya pada bidang ekonomi tanpa mengurangi
kesenjangan politik.
3)
Demokrasi Gabungan adalah
demokrasi yang fokus perhatiannya sama besar terhadap bidang politik dan
ekonomi, indonesia menganut sistem demokrasi gabungan ini.[8]
B.
Berdasarkan penyaluran kehendak
rakyat :
1)
Demokrasi Langsung (Direct
Democracy) adalah demokrasi yang secara langsung melibatkan rakyat dalam
pengambilan keputusan suatu negara. Pada demokrasi langsung, rakyat berpartisipasi
dalam pemilihan umum dan menyampaikan kehendaknya secara langsung.
2)
Demokrasi Tidak Langsung
(Indirect Democracy) adalah demokrasi yang melibatkan seluruh rakyat dalam
pengambilan suatu keputusan negara secara tidak langsung, artinya rakyat mengirimkan
wakil yang telah dipercaya untuk menyampaikan kehendak mereka. Jadi disini
wakil rakyat yang terlibat secara langsung menjadi perantara seluruh rakyat.[9]
C.
Tugas-tugas dan hubungan antara
alat-alat perlengkapan Negara
1)
Demokrasi dengan system
parlementer, yakni dalam demokrasi ini terdapat hubungan erat antara badan
legislative dengan badan eksekutif. Hanya badan legislative saja yang dipilih
rakyat, sedangkan badan eksekutif yang biasanya disebut “cabinet” dipimpin oleh
seorang perdana menteri yang dibentuk berdasarkan dukungan suara terbanyak yang
terdapat dalam dewan perwakilan rakyat atau di parlemen.
2)
Demokrasi dengan system
pemisahan kekuasaan, yakni demokrasi dalam arti kekuasaan dipisahkan menjadi
kekuasaan legislative, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif.
3)
Demokrasi dengan system
referendum, yakni demokrasi perwakilan dengan control rakyat secara langsung
terhadap wakil-wakilnya di dewan perwakilan rakyat. Ada dua macam referendum,
yaitu, “referendum obligator” dan “referendum fakultatif”. Dalam referendum
obligator, kebijakan atau undang-undang yang diajukan oleh pemerintah atau
dibuat oleh dewan perwakilan rakyat baru dapat dijalankan, setelah disetujui
oleh rakyat dengan suara terbanyak. Referendum obligator biasanya dilaksanakan
terhadap hal-hal krusial atau penting, yang menyangkut hajat orang banyak dan
perubahan dasar Negara, seperti kebijakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan
perubahan undang-undang dasar. Dalam referendum fakultatif, undang-undang yang
dibuat dewan perwakilan rakyat baru dimintakan persetujuan rakyat, apabila
dalam jangka waktu tertentu setelah undang-undang diumumkan, sejumlah
rakyatmemintanya[10]
[1] Asep Sahid, PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIL EDUCATION),
FOKUSMEDIA, Bandung, hlm 120
[2] Hendra Nurtjahjo, FILSAFAT DEMOKRASI, BUMI AKSARA, JAKARTA, 2008,
hlm. 44-45.
[3]FREEDOM INSTITUTE, MEMBELA KEBEBASAN, PUSTAKA ALFABET,
JAKARTA, 2006, hlm. 125.
[4]Ibid., 125
[5]FREEDOM INSTITUTE, MEMBELA KEBEBASAN, PUSTAKA ALFABET,
JAKARTA, 2006, hlm125
[7] Hendra Nurtjahjo, FILSAFAT DEMOKRASI, BUMI AKSARA, JAKARTA, 2008,
hlm. 64-65.
[8] Asep Sahid, PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIL EDUCATION),
FOKUSMEDIA, Bandung, hlm121
[9] Asep Sahid, PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIL EDUCATION),
FOKUSMEDIA, Bandung, hlm121
[10]Ibid,. hlm 122
Tidak ada komentar:
Posting Komentar