Minggu, 17 September 2017

KEBENARAN RASIONAL DAN EMPIRIS MELAHIRKAN DIALEKTIKA SINTESIS SEHINGGA KEBENARAN YANG DI ANUT MENJADI ILMIAH, OBJEKTIF, DAN KONSISTEN

Oleh : Syiva Habibie Januar Ramadhan
Hukum Tata Negara (SIYASAH)
Fakultas Syari'ah dan Hukum
UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Assalamualaikum. Wr. Wb

Pertama-tama penulis panjatkan puji, puja, serta syukur kehadirat Allah Swt, yang mana berkat rahmat, karunia, dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini pada tepat waktunya. Tak lupa shalawat serta salam penulis khadiratkan kepada baginda alam Nabi Muhammad Saw. dan tak lupa pula penulis hantarkan banyak terima kasih kepada dosen Filsafat Ilmu Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si. yang telah memberikan tugas tentang Kebenaran Rasional dan Empiris Melahirkan Dialektika Sintesis Sehingga Kebenaran yang di Anut Menjadi Ilmiah, Objektif, dan Konsisten.
Penulis sadari masih banyaknya yang harus di perbaiki dalam makalah ini, maka dari itu penulis mohon kritik dan sarannya untuk adanya perbaikan dalam makalh ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca.

Terima kasih.

Wassalamualaikum. Wr. Wb


              Bandung, Juni 2017


Syiva Habibie Januar Ramadhan









Kebenaran Rasional dan Empiris Melahirkan Dialektika Sintesis Sehingga Kebenaran yang di Anut Menjadi Ilmiah, Objektif, dan Konsisten

A.    Kebenaran Rasional
Di kalangan kaum rasionalis, hanya akal yang menjadi sumber pengetahuan, sedangkan yang lainnya hanya memperkuat atau membantu memberi bahan-bahan pemikiran bagi akal.[1] Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Aliran rasionalisme mengajarkan bahwa melalui akalnya manusia dapat memperoleh pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal.Aliran rasionalisme menegaskan bahwa untuk sampainya manusia kepada kebenaran adalah semata-mata dengan akalnya.[2]
Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
Immanuel kant, tujuan kant adalah menyusun suatu filsafat trandenseltal yaitu tentang suatu system prinsip-prinsip dasar pengetahuan, yang berlaku secara mutlak dan umum, nyatalah prinsip itu tidak berasal dari pengalaman, sebab pengalaman tidak pernah menghasilkan suatu pengetahuan yang mutlak dan umum. Oleh karena itu pengetahuan mutlak dan umum yang dicari tidak boleh dicampuri dengan unsur pengalaman tetapi harus melekat pada akal budi murni.
Rasionalisme merupakan paham filsafat yang mengatakan bahwa akal adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan (Ahmad Tafsir 2005: 127). Menurut Ahmad Tafsir, rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir ialah kaidah-kaidah logis atau logika (sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bagaimana logika bekerja untuk menemukan kesimpulan tentang kebenaran pengetahuan). Rene Descartes (1596-1650) adalah tokoh utama rasionalisme yang meciptakan metode “keraguan” terhadap segala sesuatu dalam berfilsafat. Descartes meragukan semua objek yang dapat dilihat oleh pancaindra, bahkan pada tubuhnya sendiri. Karena apa yang dilihatnya ketika sedang tersadar tidak berbeda dengan yang dilihatnya dalam mimpi, berhalusinasi, dan ilusi, sehingga yang sebenarnya “ada” yang mana ?apa yang sedang tertidur atau terbangun, lalu mengapa objek yang dilihatnya sama?
Akan tetapi, Descartes berusaha menemukan kebenaran yang benar-benar meyakinkan, sehingga dengan memakai metode deduktif, semua pengetahuan dapat disimpulkan Descartes memahami rasio sebagai sejenis perantara khusus untuk mengenal kebenaran. Kebenaran pengetahuan ditelusuri dengan penalaran logis yang bertumpu pada metode deduktif.[3]
Rene Descartes mengungkapkan bahwa mempelajari filsafat membutuhkan metode tersendiri agar hasilnya benar-benar logis. Ia sendiri mendapatkan metode yang dicarinya itu, yang dengan menyangsikan segala-galanya atau metode keragu-raguan, artinya kesangsian atau keragu-raguan ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang dimiliki, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai kini dianggapnya sudah final dan pasti. Misalnya, bahwa ada suatu dunia material, bahwa aku mempunyai tubuh, jika terdapat suatu kebenaran yang tahan dalam kesangsian yang radikal itu, itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan dasar bagi seluruh ilmu pengetahuan.[4]
Descartes, bapak rasionalisme continental, berusaha menemukan suatu kebenran yang tidak dapat diragukan yang darinya dengan memakai metode deduktif dapat disimpulkan semua pengetahuan kita. Ia yakin bahwa kebenaran-kebenaran semacam itu ada dan bahwa kebenaran-kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak dapat diragukan. Secara demikian akal budi dipahamkan sebagai : (1) sejenis perantara khusus yang dengan perantara tersebut dapat dikenal kebenaran, dan sebagai (2) suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan kebenaran-kebenaran; artinya, dengan melakukan penalaran.
Dengan memberikan tekanan pada metode deduktif ini, seorang penganut rasionalisme tentu mengakui bahwa kebenaran-kebenaran yang dikandung oleh kesimpulan-kesimpulan yang diperolehnya sama banyaknya dengan kebenaran-kebenaran yang dikandung oleh premis-premis yang mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan tersebut. Karena itu jika kita menginginkan agar kesimpulan-kesimpulan tersebut berupa pengetahuan, maka premis-premis haruslah benar secara mutlak. Demikianlah seorang pengikut rasionalisme mempunyai suatu cara untuk memperoleh kebenaran-kebenaran yang harus dikenalnya, bahkan sebelum adanya pengalaman. Bagi Descartes, kebenaran-kebenaran apriori ini dikenal oleh sifatnya yang terang dan tegas.
Barangkali Spionoza-lah orang yang paling baik dalam memberikan gambaran tentang apa yang dipikirkan oleh orang yang menganut rasionalisme. Ia berusaha menyusun suatu system filsafat yang mengatakan bahwa dalil-dalil ilmu ukut merupakan kebenaran-kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Artinya, Spinoza yakin bahwa jika seseorang memahami makna yang dikandung oleh pernyataan”suatu garis lurus merupakan jarak terdekat di antara dua buah titik”, maka kita mau tidak mau mengakui kebenaran pernyataan tersebut[5].
Menurut Spinoza, tidak perlu ada bahan-bahan bukti yang lain kecuali makna yang dikandung oleh kata-kata yang dipergunakan. Spinoza menetapkan definisi-definisi tentang berbagai istilah seperti ‘substansi’ dan ‘sebab bagi dirinya sendiri’, dan sebagainya, dan juga berbagai dalil, yang semua itu dipandang sebagai kebenaran-kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi, dan dari kebenaran-kebenaran tersebut, ia berusaha menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang lain mengenai kenyataan, Tuhan, manusia dan kebaikan.
Dapatlah dikatakan, bagi seorang penganut rasionalisme, pengetahuan diperoleh melalui kegiatan akal pikiran atau akal budi ketika akal menangkap berbagai hal yang dihadapinya pada masa hidup seseorang. Selain itu dalam hal ini tidak ada penyimpulan yang begitu saja terjadi mengenai kedudukan ontologis dari suatu yang diketahui. Seperti hanya pengalaman, orang mengatakan bahwa apa yang dialami tentu mempunyai hakekat yang sedemikian rupa (setidak-tidaknya untuk sebagian) sehingga dapat merangsang alat inderawi. Begitu pula halnya dengan akal, terdapat ketentuan bahwa apa yang diketahui pasti dalam hal tertentu mempunyai hakekat yang sedemikian rupa sehingga dapat diketahui oleh akal.
Seorang penganut rasionalisme tidaklah memandang pengalaman sebagai hal yang tidak mengandung nilai. Bahkan sebaliknya, ia mungkin mencari pengalaman-pengalaman selanjutnya sebagai bahan pembantu atau sebagai pendorong dalam penyelidikannya untuk memperoleh kebenaran. Dan ia mungkin mengadakan pembedaan antara pengetahuan dengan pendapat, pengetahuan merupakan hasil kegiatan akal yang mengolah hasil tangkapan yang tidak jelas yang timbul dari indera, ingatan atau angan-angan kita.
Secara demikian, jika saya mengatakan bahwa saya melihat suatu pohon, maka saya tidak mempunyai pengetahuan, melainkan hanya pendapat, karena saya membuat pernyataan itu sebagai hasil penyimpulan yang diperoleh dari tangkapan penglihatan mata tertentu dan dari ingatan-ingatan tertentu yang sekarang saya punyai. Mata saya mungkin menipu saya atau ingatan saya hanya dapat mengatakan bahwa saya melihat pohon, dan sebagai akibatnya saya tidak dapat mengatakan bahwa saya mempunyai pengetahuan tentang pohon[6].
Tetapi jika saya mengatakan bahwa 2+2=4 atau bahwa bagi setiap kejadian tentu ada lasan mengapa hal itu terjadi, maka saya mempunyai pengetahuan mengenai hal-hal tersebut berdasarkan atas penalaran. Ini sama sekali bukan masalah pendapat, karena tidak mungkin untuk mengingkarinya atau bahkan untuk memahami sesuatu seperti bahwa 2+2=5 atau bahwa ada kejadian-kejadian yang tidak beralasan untuk terjadi. Kita tidak dapat membayangkan dalam pikiran tentang dunia yang kacau-balau. Maka bagi seorang penganut rasionalisme, ukuran kebenaran ialah kemustahilan untuk mengingkari dan untuk dipahamkan yang sebaliknya.
Dalam karya Descartes, ia menjelaskan pencarian kebenaran melalui metode keragu-raguan. Karyanya yang berjudul A Discourse on Methode mengemukakan perlunya memerhatikan empat hal berikut :[7]
1.      Kebenaran baru dinyatakan shahih jika telah benar-benar indriawi dan realitasnya telah jelas dan tegas (clearly and distinictly) sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
2.      Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sampai sebanyak mungkin bagian sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
3.      Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudak diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4.      Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, harus dibuat perhitungan yang sempurna serta pertimbangan yang menyeluruh sehingga diperoleh keyakinan bahwa tidak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.
Rene Descartes tidak begitu saja menerima kebenaran atas dasar pancaindra. Pada dasarnya ia tetap bersikukuh bahwa semua yang dilihatnya harus diragukan kebenarannya dan setiap yang telah terlihat jelas dan tegas harus dipilih-pilih hingga mendapatkan bagian-bagian yang kecil. Berdasarkan aturan-aturan tersebut, Descartes mengembangkan pikiran filosofisnya .ia sendiri meragukan apakah sekarang sedang berdiri menyaksikan relitas yang tampak di matanya atau sedang tidur dan bermimpi. Sebagaimana ia meragukan dirinya apakah sedang sadar atau sedang gila.Keraguan Rene Descartes sangat rasional, karena tidak ada perbedaan signifikan antara kenyataan dalam mimpi dan kenyataan ketika terjaga, karena gambarannya sama. Sebagaimana seseorang yang bermimpu bertemu dengan kakeknya, kemudian ia benar-benar bertemu dengan kakeknya. Apakah yang benar itu ketika tertidur atau terjaga, karena hasilnya tidak ada perbedaan. Bahkan ketika seseorang pernah melihat kuda dan  melihat sayap, lalu ia meluhat kuda yang sedang terbang dengan sayapnya. Sebuah kenyataan yang berawal dari dua kenyataan yang berbeda karena kuda dan sayap semula tidak bersatu, tetapi apa yang dilihat bisa saja menjadi satu. Oleh karena itu, keraguan terhadpa semua yang dilihat sangat beralasan karena terlalu banyak tipu daya terhadap pembuktian kebenaran hakiki.[8]
Descartes menyimpulkan bahwa selain dari Allah ada dua substansi. Pertama, jiwa yang hakikinya adlah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adlah keluasan. Akan tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar aku, sekarang ia mengalami banyak kesulitan untuk membuktikan keberadaannya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia material adalah bajwa Allah akan menipuku jika sekiranya ia memberi aku ide keluasan, sedangkan di luar tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Dengan demikian, keberadaan yang sempurna yang ada di luar aku tidak akan menemuku, artinya dunia material lain yang keberadaannya tidak diragukan, bahlan sempurna. Descartes memandang bahwa manusia merupakan makhluk dualitas. Manusia terdiri atas dua substansi, yaitu jiwa dan tubuh, jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. sebenarnya tubuh adalah mesin yang dijalankan oleh jiwa. karena Setiap substansi yang satu dama sekali terpisah dari substansi yang lain, nyata bahwa Descartes menganut dualism tentang manusia. Oleh sebab itu, ia mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara tubuh dan jiwa berlangsung dalam glandula pinealis (sebuah kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil). Akan tetapi, akhirnya pemecahan ini tidak memadai bagi Descartes.[9]

B.     Kebenaran Empiris
Kata empiris ini berasal dari kata Yunani ‘empeirikos’ yang berarti pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman-nya. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi. Empirisme ini sangat bertentangan dengan aliran rasionalisme, terutama dilihat dari sumber pengetahuannya.[10] Penganut empirisme berpandangan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan bagi manusia, yang jelas-jelas mendahului rasio. Tanpa pengalaman, rasio tidak memiliki kemampuan untuk memberikan gambaran tertentu, kalaupun menggambarkan sedemikian rupa, tanpa pengalaman, hanyalah khayalan belaka.[11]
Tentang teori makna sangat berdekatan dengan aliran positivism logis (logical positivisme) dan filsafat Ludwig Wittegenstein. Akan tetapi, teori makna dan empirisme selalu harus dipahami melalui penafsiran pengalaman. Oleh karena itu, bagi orang empiris jiwa dapat dipahami sebagai gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola (pattern) jumlah yang dapat diindra, dan hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama.[12]
Akal semacam tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil pengindraan. Hal ini berarti bahwa semua pengetahuan manusia betapa pun rumitnya dapat dilacak kembali sampai pada pengalaman-pengalaman indrawi yang telah tersimpan rapi di dalam akal. Jika terdapat pengalaman yang tidak tegali olegg daya ingatan akal, itu berarto merupakan kelemahan akal, sehingga hasil pengindraan yang menjadi pengalaman manusia tidak lagi dapat diakutualisasikan. Dengan demikian, bukan lagi sebagai ilmu pengetahuan yang factual.[13]
Mereka yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman inderawi, dan apa yang tidak dapat dialcak secara demikian itu dianggap bukan pengetahuan, dinamakan penganut ‘empirisisme radikal’ (atau penganut pengetahuan, dinamakan penganut ‘empirisisme radikal’ (atau penganut ‘sensasionalisme’). Tetapi tidak semua penganut empirisisme merupakan penganut sensasionalisme.[14] Di antara mereka ada yang mengatakan kita dapat mengetahui suatu corak pengetahuan yang tidak dapat dikembalikan kepada penginderaan, sekalipun dikatakan pula bahwa hal itu bukanlah menyangkut pengetahuan mengenai eksistensi.
Contohnya, adalah mungkin bagi kita untuk mengetahui tanpapengalaman sama sekali bahwa suatu kertas misalnya berwarna putih atau tidak berwarna putih, karena kita dapat mengatakan bahwa segala hal merupakan A atau bukan A. Dengan cara yang sama saya juga dapat mengetahui tanpa menunjuk pada pengalaman inderawi bahwa suatu segitiga merupakan bidang datar yang berisi tiga, karena memang demikianlah cara saya mendefinisikan segitiga. Sementara penganut empirisisme radikal mengatakan bahwa kedua contoh tersebut bukanlah pengetahuan, tetapi hanya menerangkan bagaimana kita menggunakan kata-kata. Di dalam contoh yang pertama yang didasarkan atas keadaan bahwa secarik kertas berwarna putih atau tidak berwarna putih, kita tidak dapat mengetahui warna yang manakah yang dipunya oleh kertas tersebut. Di dalam contoh mengenai segitiga tadi, kita hanya dapat memberikan nama dan tidak dapat mengetahui apakah suatu segitiga bereksistensi ataukah tidak.pengalaman tiada lain merupakan akibat suatu objek yang merangsang alat inderawi, yang secara demikian menimbulkan rangsangan syaraf yang diteruskan ke otak. Di dalam otak, sumber rangsangan tadi dipahami sebagaimana adanya atau berdasarkan atas rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat inderawi tadi. Menurut penganut empirisisme, begitulah pengetahuan terjadi.[15]
Ditinjau dari sudut epistemology khususnya dari pandangan empiris pengalaman kadang-kadang menunjuk hanya pada hasil penginderaan. Sebab itu, dapatlah dinamakan ‘datum indera’. Kedudukan yang bersifat ontologis dari data indera kita ini tidaklah dipersoalkan sekarang. Dan hendaknya diketahui, dalam batas-batas tertentu, apa yang telah saya katakana tadi tidaklah dapat ditarik kesimpulan bahwa dunia tersusun dari data indera tersebut atau bahwa data indera pada hakekatnya bersifat kerohanian (idealism) atau bahwa data indera itu bersifat kerohanian tetapi menunjuk pada ala, semesta yang tidak bersifat kerohanian (realism), atau suatu pendirian yang lain.
Saya juga tidak mengatakan apapun mengenai hakekat sesuatu yang merangsang alat inderawi dan menimbulkan datum indera. Pada kesempatan ini saya membicarakan keterangan penganut empirisisme tentang bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan. Ada banyak jenis empirisisme, tetapi pada hakekatnya semuanya mengutamakan pengalaman inderawi dalam proses memperoleh pengetahuan.
Tokoh-tokoh aliran empirisme yang pertama adalah Thomas Hobbes (1588-1679), yang lahir di Inggris pada saat penyerbuan oleh Spanyol ke Inggris. Sebagaimana umumnya penganut empirisme, Hobbes beranggapan bajwa pengalaman merupakan permulaan segala perhitungan, yakni penggabungan data-data inderawi yang sama dengan cara yang berlainan. Pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan di dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lalu. Yang kedua adalah John Lock (1632-1704) dengan teori “tabularasa” mengemukakan bahwa rasio manusia harus dipandang sebagai “lembaran kertas putih” (as white paper). Selain Locke, juga terdapat tokoh lain yang terkenal dalam aliran empirisme ini adalah David Hume (1711-1776),[16] dan George Barkeley (1685-1753) yang berpandangan bahwa seluruh gagasan dalam pikiran atau ide datang dari pengalaman dan tidak ada jatah ruang bagi gagasan yanglepas begitu saja dari pengalaman. Oleh karena itu, idea tidak bersifat independen. Pengalaman konkret adalah “mutlak” sebagai sumber pengetahuan utama bagi manusia, karena penalaran bersifat abstrak dan membutuhkan rangsangan dari pengalaman. Berbagai gejala fisikal akan ditangkap oleh indra dan dikumpulkan dalam daya ingat manusia, sehingga pengalaman indrawi menjadi akumulasi pengetahuan yang berupa fakta-fakta. Kemudian, upaya faktualisasinya dibutuhkan akal. Dengan demikian, fungsi akal tidak sekadar menjelaskan dalam bentuk-bentuk khayali semata-mata, melainkan dakam konteks yang realistic.[17]
Seorang penganut empirisme biasanya berpendirian bahwa kita dapat memperoleh pengetahuan melalui pengalaman. Sifat yang menonjol dari jawaban ini dapat dilihat bila tidak bila kita memperhatikan pertanyaan seperti “bagaimanakah orang mengetahui es membeku?” jawaban kita tentu akan berbunyi, “karena saya melihatnya demikian itu,” atau “karena seorang ilmuan telah melihatnya demikian.” Sama halnya dengan itu, terhadap pertanyaan “bagaimana orang mengetahui Caesar telah dibunuh?”, maka jawaban kita akan berbunyi, “karena seseorang yang ada di tempat itu dan melihat kejadian tersebut, telah menerangkannya demikian.” Secara demikian dapat dibedakan dua macam unsur. ‘yang mengetahui’ dan ‘yang diketahui’. Orang yang mengetahui merupakan subjek yangmemperoleh pengetahuan dan dikenal dengan suatu perkataan yang menunjukkan seseorang atau suatu kemampuan.[18]
Unsur ketiga yang dapat kita bedakan dalam jawaban terhadap pertanyaan “bagaimana orang mengetahui bahwa es situ membeku?” ialah keadaan kita besangkutan dengan ‘melihat’ dan ‘mendenganr’ atau suatu pengalaman inderawi yang lain. Bagaimana kita mengetahui apa itu panas? Dengan menyentuh barang sesuatu dan memperoleh pengalaman yang kita sebut ‘panas’. Bagaimanakah kita mengetahui apakah panas itu? Dengan mempergunakan alat-alat inderawi peraba. Dengan perkataan lain, pertanyaan “bagaimana anda mengetahui atau memperoleh pengetahuan?” dijawab dengan menunjukkan pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.

C.     Kebenara Ilmiah, Objektif, dan Konsisten
Munculnya rasionalisme dan empirisme menjadi indicator lahirlah periode modern dalam alam pikiran barat. Masing-masing ingin menang sendiri, rasionalisme meragukan semua pandangan empirisme. Demikian juga, sebalinya empirisme memandang rasionalisme penuh dengan subjektivitas dan sangat personalistik.[19]
Rasionalisme dan empirisme adalah sebuah tesis dan antithesis yang akan melahirkan sintetis yang dimana sintesis dalam kebenaran berbentuk kebenaran yang ilmiah, objektif, dan konsisten.
Tesis adalah pernyataan atau teori yang didukung oleh argumen yang dikemukakan dalam karya tulis ilmiah. dan lawan dari tesis adalah anti-tesis yang kontra terhadap pernyataan yang dikeluarkan. Dan seperti yang dikatakan oleh hegel bahwa segala sesuatu didunia ini akan selalu berwanan yang akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik yaitu yang dinamakan sintesis.
Rasionalisme adalah bentuk tesis yang mempunyai keyakinan bahwa kebenaran itu berasal dari akal, dan sumber dari sebuah pengetahuan, karena pada dasarnya sebuah pengetahuan adalah sebuah pemikiran yang dilakukan oleh akal. Apa yang benar-benar dilihat oleh indrawi bukan semata-mata bahwa itu adalah kebenaran, bahkan menurut Descartes segala sesuatu yang ditangkap oleh indrawi harus di ragu-ragukan karena sesungguhnya itu bukan suatu kebenaran.
Dan sedangkan empirisme berbentuk antithesis yang dimana kontra terhadap tesis yang mempunyai pandangan bahwa pengalaman adalah suatu ilmu pengetahuan, karena sesungguhnya tanpa pengalaman, rasio tidak memiliki kemampuan untuk memberikan gambaran tertentu, kalaupun menggambarkan sedemikian rupa, tanpa pengalaman, hanyalah khayalan belaka.
Kebenaran empiris benar adanya menurut apa yang dilihat dan dialaminya, dan kebenaran rasional benar adanya menurut apa yang ada di akalnya, tetapi untuk menemukan kebenaran secara ilmiah kita perlu kebenaran empiris yang jelas-jelas sebagai acuan dari pengetahuan di masa lalu untuk dijadikan ilmu di masa yang akan datang, yang dibantu oleh akal yang merupakan alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan.
Kebenaran secara objektif adalah kebenaran yang berdasarkan data-data yang dapat dipertanggung jawabkan dan benar adanya, untuk mendapatkan kebenaran yang objektifk tidak bisa hanya menggunakan menurut rasional saja, karena kebenaran objektif memerlukan data-data yang autentik yang tidak bisa hanya menggunakan akal saja dalam mendapatkannya. Begitupun tidak bisa hanya menggunakan metode empiris saja dalam mendapatkannya, karena sebuah pengetahuan tidak selamanya dikembalikan kepada sebuah pengindraan.
Dan, kebenaran konsisten adalah kebenaran yang tidak berubah-ubah ketika terhadap apapun yang terjadi kepada kita.

D.    Dialektika kebenaran empiris dan rasional
Ajaran Hegel menyatakan bahwa yang menyatakan segala sesuatu yang terdapat di alam semesta itu terjadi dari hasil pertentangan antara dua hal dan yang menimbulkan hal lain lagi.
Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan objek yang juga bisa diartikan suatu pendapat atau perbuatan seseorang yang bisa diterima dan tidak bertentangan dengan orang lain.
Empiris adalah ilmu pengetahuan yang didapat menurut pengalaman yang secara indrawi.
Rasional adalah ilmu pengetahuan yang didapat dari akal.
Dialektika kebenaran empiris dan rasional adalah bagaimana menemukan kebenaran yang secara ilmiah, objektif, dan konsisten.
Untuk menemukan kebenaran yang ilmiah, objektif, dan konsisten tidak bisa hanya dilakukan dengan kebenaran rasional saja, karena sudah dikatakan bahwa kebenaran rasional membutuhkan kebenaran empiris sebagai rangsangan bagi akalnya.
Dan untuk menemukan kebenaran yang ilmiah, objektif, dan konsisten tidak bisa hanya dilakukan dengan kebenaran empiris saja, karena untuk menemukan kebenaran yang ilmiah, empiris memerlukan akal dalam menemukan kebenaran secara ilmiah.



[1] Beni Ahmad Saebani, FILSAFAT ILMU, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hlm. 83
[2] A. Susanto, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, hlm. 141
[3] Beni Ahmad Saebani, FILSAFAT ILMU, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hlm. 84-85
[4] Beni Ahmad Saebani, FILSAFAT ILMU DAN METODE PENELITIAN, Bandung: Pustaka Setia, 2015, hlm. 136
[5] LOUIS O. KATTSOFF, PENGANTAR FILSAFAT, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, Hlm. 136
[6]Ibid., Hlm. 137
[7] Beni Ahmad Saebani, FILSAFAT ILMU DAN METODE PENELITIAN, Bandung: Pustaka Setia, 2015, hlm. 136-137
[8] Beni Ahmad Saebani, FILSAFAT ILMU DAN METODE PENELITIAN, Bandung: Pustaka Setia, 2015, hlm. 137
[9]Ibid., hlm. 137-138
[10] A. Susanto, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, hlm. 37-38
[11] Beni Ahmad Saebani, FILSAFAT ILMU, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hlm. 94
[12] Beni Ahmad Saebani, FILSAFAT ILMU DAN METODE PENELITIAN, Bandung: Pustaka Setia, 2015, hlm. 138
[13]Ibid., Hlm 95
[14] LOUIS O. KATTSOFF, PENGANTAR FILSAFAT, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, Hlm. 133
[15]Ibid., hlm. 134
[16]A. Susanto, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, hlm. 38
[17] Beni Ahmad Saebani, FILSAFAT ILMU, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hlm. 95
[18] LOUIS O. KATTSOFF, PENGANTAR FILSAFAT, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, Hlm. 133
[19]Beni Ahmad Saebani, FILSAFAT ILMU, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hlm. 96


berbicara sedikit tentang DEMOKRASI

Dari sisi Bahasa atau estimologi, kata demokrasi berasal dari Bahasa Yunani yakni “demos” yang berarti rakyat atau penduduk setempat, dan “cratein” atau “kratos” yang berarti pemerintahan. Jadi secara etimologis demokrasi adalah pemerintahan rakyat, pemerintahan kerakyatan atau pemerintaha rakyat banyak. Dalam pengertian peristilahan atau terminologis, Abraham Lincoln (1808-18865) Presiden Amerika Serikat yang ke -16 mengatakan bahwa “democracy is government of the people, by the people and for people” atau “demokrasi itu adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.[1]
Pada awal sejarahnya demokrasi hanya dimengerti lewat model partisipasi politik langsung yang melibatkan seluruh warga yang sudah dewasa dalam suatu proses politik. Proses politik penataan kehidupan bersama ini dikelola secara bersama, dan inilah yang dinamakan oleh Aristoteles sebagai bentuk Negara ideal ‘politeria’, atau yang secara modern disebut oleh Robert A. Dahl sebagai ‘Polyarchy’, sebagai ganti dari istilah yang kemudian lebih popular dengan sebutan demokrasi yang meluas. Jadi, ciri utama demokrasi purba itu adalah adanya pengelolaan bersama oleh seluruh warga polis (kota) yang jumlah penduduknya sedikit.[2]
Demokrasi adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang. Ada orang yang membedakan antara “demokrasi substantif” dan “demokrasi prosedural”. Mereka yang tidak puas, biasanya mengatakan bahwa demokrasi secara procedural memang sudah terpenuhi, tapi substansinya belum, padahal demokrasi substansif itulah yang sejati dan karenanya harus diciptakan.[3]
Definisi demokrasi yanglazim tersebut pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat sebenarnya definisi yang problematis dilihat dari kenyataan yang hidup di masyarakat. Ia merupakan definisi lebih normative, bukan definisi yang betul-betul mengacu pada sebuah entitas riil, kenyataan yang ada di dalam masyarkat. Mengapa problematis?[4]
Karena kenyataannya rakyat tidak memerintah. Kadang-kadang, dalam praktiknya, bahkan rakyat dalam demokrasi juga tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Maka kalau kita memahami demokrasi sebagai fakta nyata yang ada dalam sejarah umat manusia di manapun, terutama di masyarakat modern dewasa ini (karena sebelum zaman modern praktik demokrasi tidak ada), sebetulnya bukanlah demokrasi yang sejati demokrasi yang kita kenal sekarang relative baru, produk abad ke-19, ataulebih tepat lagi: produk abad ke-20.[5]
Pengertian demokrasi yang saat ini lebih mengacu kepada demokrasi yang prosedur, pada cara rekrutmen orang untuk mengisi jabatan-jabatan public yang strategis, dengan melibatkan partisipasi rakyat yang seluas-luasnya. Jadi yang khas dalam system demokrasi adalah memang prosedur itu, dan apabila ada orang yang menyebut “demokrasi procedural itu hanya pleonasme, sebab memang demokrasi menyangkut prosedur, dan karena itu dengan sendirinya “procedural”.[6]
Sedangkan yang disebut dengan demokrasi substansif itu merupakan gagasan-gagasan yang berada diluar demokrasi. Misalnya berbicara bahwa demokrasi adalah kekuasaan oleh rakyat, dan yang dimaksud rakyat adalah masyarakat kelas bawah. Argument lanjutannya: demokrasi adalah sebuah procedur untuk mencapai tujuan dan kepentingan masyarakat bawah. Ideal seperti ini dalam praktiknya diwujudkan misalnya dalam system komunisme. System komunis itulah yang menurut versi ini, merupakan demokrasi yang sesungguhnya, setidaknya sebagai salah satu versi dari demokrasi substansif.
Samuel P. Huntington dalam meneliti mengenai transisi menuju system demokrasi antara tahun 1974 sampai 1990 sampai pada kesimpulan bahwa definisi yang paling sahih dewasa ini untuk menjelaskan makna demokrasi adalah dalam pengertian yang prosuderal. Sementara itu Walzer juga mengatakan bahwa yang memerintah dalam demokrasi adalah orang yang de facto memenangkan persetujuan lebih besar rakyat (suara mayoritas rakyat). Inilah satu-satunya cara memperoleh dan melegitimasikan kekuasaan dalam demokrasi. Terlihat di sini, legitimasi sosial-politis adalah dari rakyat terbesar (mayoritas) melalui pemungutan suara (voting) sebagai ukuran yang paling sahih dalam metode demokrasi.[7]
Ada kritik yang lazim terdengar, terutama dari mereka yang berhaluan kiri, seperti populistik, sosialistik, atau komunistik, bahwa demokrasi yang tentunya bermakna procedural itu dengan sendirinya tidak adil. Prefensi mereka adalah mengakomodasi suara masyarakat bawah, sementara dalam demokrasi suara rakyat bawah sering tidak didengar. Masalah ini terpecahkan lewat persaingan antara para elite itu sendiri, sebab masing-masing elite membutuhkan legitimasi dan dukungan. Maka kompetisi antara elite-elite itu akan melahirkan kompetisi program, agenda, dan seterusnya. Karena mereka membutuhkan dukungan dari public yang sangat luas, maka demokrasi secara inheren akan melahirkan program-program yang popular. Kalau tidak, dia tidak akan dipilih oleh masyarakat.
Disitulah demokrasi memberikan ruang dan persaingan yang melahirkan kebebasan, dan dari kebebasan tersebut terbukalah pilihan-pilihan yang paling popular dan baik dimata masyarakat. Mereka kemudian harus memberi opsi-opsi yang lebih banyak untuk memperbaiki satu system, untuk membuat kebijakan-kebijakan yang lebih baik dengan adanya prosedur tersebut dan apabila tidak ada prosedur tersebut maka cara-cara untuk mencari kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik akan tertutup, Karena tidak ada demokrasi yang mampu menghasilkan kebijakan sekali jadi.
Secara tegas bahwa demokrasi tidak pernah secara pasti menjanjikan untuk mengkonstruksi kebenaran dan keadilan hakiki.keputusan yang diproduksi oleh proses demokrasi hanyalah kebenaran dan keadilan versi mayoritas, atau suatu pandangan.


2.      Bentuk – Bentuk Demokrasi

Untuk mengetahui bentuk-bentuk demokrasi setidaknya dapat di upayakan dengan menggunakan pendekatan dari beberapa sudut pandang. Misalnya menggunakan tiga sudut pandang utama, yakni :
A.    dilihat dari sudut pandang “titik tekan” yang menjadi perhatiannya, demokrasi dapat dibedakan antara :
1)   Demokrasi Formal adalah demokrasi yang fokus perhatiannya pada bidang politik tanpa mengurangi kesenjangan ekonomi.
2)   Demokrasi Material adalah demokrasi yang fokus perhatiannya pada bidang ekonomi tanpa mengurangi kesenjangan politik.
3)   Demokrasi Gabungan adalah demokrasi yang fokus perhatiannya sama besar terhadap bidang politik dan ekonomi, indonesia menganut sistem demokrasi gabungan ini.[8]
B.     Berdasarkan penyaluran kehendak rakyat :
1)      Demokrasi Langsung (Direct Democracy) adalah demokrasi yang secara langsung melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan suatu negara. Pada demokrasi langsung, rakyat berpartisipasi dalam pemilihan umum dan menyampaikan kehendaknya secara langsung.
2)      Demokrasi Tidak Langsung (Indirect Democracy) adalah demokrasi yang melibatkan seluruh rakyat dalam pengambilan suatu keputusan negara secara tidak langsung, artinya rakyat mengirimkan wakil yang telah dipercaya untuk menyampaikan kehendak mereka. Jadi disini wakil rakyat yang terlibat secara langsung menjadi perantara seluruh rakyat.[9]
C.     Tugas-tugas dan hubungan antara alat-alat perlengkapan Negara
1)      Demokrasi dengan system parlementer, yakni dalam demokrasi ini terdapat hubungan erat antara badan legislative dengan badan eksekutif. Hanya badan legislative saja yang dipilih rakyat, sedangkan badan eksekutif yang biasanya disebut “cabinet” dipimpin oleh seorang perdana menteri yang dibentuk berdasarkan dukungan suara terbanyak yang terdapat dalam dewan perwakilan rakyat atau di parlemen.
2)      Demokrasi dengan system pemisahan kekuasaan, yakni demokrasi dalam arti kekuasaan dipisahkan menjadi kekuasaan legislative, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif.
3)      Demokrasi dengan system referendum, yakni demokrasi perwakilan dengan control rakyat secara langsung terhadap wakil-wakilnya di dewan perwakilan rakyat. Ada dua macam referendum, yaitu, “referendum obligator” dan “referendum fakultatif”. Dalam referendum obligator, kebijakan atau undang-undang yang diajukan oleh pemerintah atau dibuat oleh dewan perwakilan rakyat baru dapat dijalankan, setelah disetujui oleh rakyat dengan suara terbanyak. Referendum obligator biasanya dilaksanakan terhadap hal-hal krusial atau penting, yang menyangkut hajat orang banyak dan perubahan dasar Negara, seperti kebijakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan perubahan undang-undang dasar. Dalam referendum fakultatif, undang-undang yang dibuat dewan perwakilan rakyat baru dimintakan persetujuan rakyat, apabila dalam jangka waktu tertentu setelah undang-undang diumumkan, sejumlah rakyatmemintanya[10]




[1] Asep Sahid, PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIL EDUCATION), FOKUSMEDIA, Bandung, hlm 120
[2] Hendra Nurtjahjo, FILSAFAT DEMOKRASI, BUMI AKSARA, JAKARTA, 2008, hlm. 44-45.
[3]FREEDOM INSTITUTE, MEMBELA KEBEBASAN, PUSTAKA ALFABET, JAKARTA, 2006, hlm. 125.
[4]Ibid., 125
[5]FREEDOM INSTITUTE, MEMBELA KEBEBASAN, PUSTAKA ALFABET, JAKARTA, 2006, hlm125
[6]Ibid., hlm 125
[7] Hendra Nurtjahjo, FILSAFAT DEMOKRASI, BUMI AKSARA, JAKARTA, 2008, hlm. 64-65.
[8] Asep Sahid, PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIL EDUCATION), FOKUSMEDIA, Bandung, hlm121
[9] Asep Sahid, PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIL EDUCATION), FOKUSMEDIA, Bandung, hlm121
[10]Ibid,. hlm 122

my shine sun

20 agustus 2016 ternyata bukan pertama kali aku melihatmu... 20 agustus 2016 14:27 ketika perayaan ulang tahun purwakarta yang ke 185 ...