Oleh : Syiva Habibie Januar Ramadhan
Hukum Tata Negara (SIYASAH)
Fakultas Syari'ah dan Hukum
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Hukum Tata Negara (SIYASAH)
Fakultas Syari'ah dan Hukum
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Assalamualaikum. Wr. Wb
Pertama-tama penulis panjatkan puji, puja, serta syukur kehadirat Allah
Swt, yang mana berkat rahmat, karunia, dan hidayahnya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini pada tepat waktunya. Tak lupa shalawat serta salam
penulis khadiratkan kepada baginda alam Nabi Muhammad Saw. dan tak lupa pula
penulis hantarkan banyak terima kasih kepada dosen Filsafat Ilmu Dr. Beni Ahmad
Saebani, M.Si. yang telah memberikan tugas tentang Kebenaran Rasional dan
Empiris Melahirkan Dialektika Sintesis Sehingga Kebenaran yang di Anut Menjadi
Ilmiah, Objektif, dan Konsisten.
Penulis sadari masih banyaknya yang harus di perbaiki dalam makalah ini,
maka dari itu penulis mohon kritik dan sarannya untuk adanya perbaikan dalam
makalh ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri
dan umumnya bagi pembaca.
Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Bandung, Juni 2017
Syiva Habibie Januar Ramadhan
Kebenaran Rasional dan
Empiris Melahirkan Dialektika Sintesis Sehingga Kebenaran yang di Anut Menjadi
Ilmiah, Objektif, dan Konsisten
A. Kebenaran Rasional
Di kalangan kaum rasionalis, hanya akal yang menjadi sumber pengetahuan,
sedangkan yang lainnya hanya memperkuat atau membantu memberi bahan-bahan
pemikiran bagi akal.[1]
Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman
paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Aliran
rasionalisme mengajarkan bahwa melalui akalnya manusia dapat memperoleh
pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal.Aliran
rasionalisme menegaskan bahwa untuk sampainya manusia kepada kebenaran adalah
semata-mata dengan akalnya.[2]
Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak
di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna
sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan,
maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh
dengan akal budi saja.
Immanuel kant, tujuan kant adalah menyusun suatu filsafat trandenseltal
yaitu tentang suatu system prinsip-prinsip dasar pengetahuan, yang berlaku
secara mutlak dan umum, nyatalah prinsip itu tidak berasal dari pengalaman,
sebab pengalaman tidak pernah menghasilkan suatu pengetahuan yang mutlak dan
umum. Oleh karena itu pengetahuan mutlak dan umum yang dicari tidak boleh
dicampuri dengan unsur pengalaman tetapi harus melekat pada akal budi murni.
Rasionalisme merupakan paham filsafat yang mengatakan bahwa akal adalah
alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan (Ahmad
Tafsir 2005: 127). Menurut Ahmad Tafsir, rasionalisme mengajarkan bahwa
pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir ialah
kaidah-kaidah logis atau logika (sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
bagaimana logika bekerja untuk menemukan kesimpulan tentang kebenaran
pengetahuan). Rene Descartes (1596-1650) adalah tokoh utama rasionalisme yang
meciptakan metode “keraguan” terhadap segala sesuatu dalam berfilsafat.
Descartes meragukan semua objek yang dapat dilihat oleh pancaindra, bahkan pada
tubuhnya sendiri. Karena apa yang dilihatnya ketika sedang tersadar tidak
berbeda dengan yang dilihatnya dalam mimpi, berhalusinasi, dan ilusi, sehingga
yang sebenarnya “ada” yang mana ?apa yang sedang tertidur atau terbangun, lalu
mengapa objek yang dilihatnya sama?
Akan tetapi, Descartes berusaha menemukan kebenaran yang benar-benar
meyakinkan, sehingga dengan memakai metode deduktif, semua pengetahuan
dapat disimpulkan Descartes memahami rasio sebagai sejenis perantara khusus
untuk mengenal kebenaran. Kebenaran pengetahuan ditelusuri dengan penalaran
logis yang bertumpu pada metode deduktif.[3]
Rene Descartes mengungkapkan bahwa mempelajari filsafat membutuhkan
metode tersendiri agar hasilnya benar-benar logis. Ia sendiri mendapatkan
metode yang dicarinya itu, yang dengan menyangsikan segala-galanya atau metode
keragu-raguan, artinya kesangsian atau keragu-raguan ini harus meliputi seluruh
pengetahuan yang dimiliki, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai kini
dianggapnya sudah final dan pasti. Misalnya, bahwa ada suatu dunia material,
bahwa aku mempunyai tubuh, jika terdapat suatu kebenaran yang tahan dalam
kesangsian yang radikal itu, itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus
dijadikan dasar bagi seluruh ilmu pengetahuan.[4]
Descartes, bapak rasionalisme continental, berusaha menemukan suatu
kebenran yang tidak dapat diragukan yang darinya dengan memakai metode deduktif
dapat disimpulkan semua pengetahuan kita. Ia yakin bahwa kebenaran-kebenaran
semacam itu ada dan bahwa kebenaran-kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya
yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak dapat diragukan. Secara
demikian akal budi dipahamkan sebagai : (1) sejenis perantara khusus yang
dengan perantara tersebut dapat dikenal kebenaran, dan sebagai (2) suatu teknik
deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan
kebenaran-kebenaran; artinya, dengan melakukan penalaran.
Dengan memberikan tekanan pada metode deduktif ini, seorang penganut
rasionalisme tentu mengakui bahwa kebenaran-kebenaran yang dikandung oleh
kesimpulan-kesimpulan yang diperolehnya sama banyaknya dengan
kebenaran-kebenaran yang dikandung oleh premis-premis yang mengakibatkan
kesimpulan-kesimpulan tersebut. Karena itu jika kita menginginkan agar
kesimpulan-kesimpulan tersebut berupa pengetahuan, maka premis-premis haruslah
benar secara mutlak. Demikianlah seorang pengikut rasionalisme mempunyai suatu
cara untuk memperoleh kebenaran-kebenaran yang harus dikenalnya, bahkan sebelum
adanya pengalaman. Bagi Descartes, kebenaran-kebenaran apriori ini dikenal oleh
sifatnya yang terang dan tegas.
Barangkali Spionoza-lah orang yang paling baik dalam memberikan gambaran
tentang apa yang dipikirkan oleh orang yang menganut rasionalisme. Ia berusaha
menyusun suatu system filsafat yang mengatakan bahwa dalil-dalil ilmu ukut
merupakan kebenaran-kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Artinya,
Spinoza yakin bahwa jika seseorang memahami makna yang dikandung oleh
pernyataan”suatu garis lurus merupakan jarak terdekat di antara dua buah
titik”, maka kita mau tidak mau mengakui kebenaran pernyataan tersebut[5].
Menurut Spinoza, tidak perlu ada bahan-bahan bukti yang lain kecuali
makna yang dikandung oleh kata-kata yang dipergunakan. Spinoza menetapkan
definisi-definisi tentang berbagai istilah seperti ‘substansi’ dan ‘sebab bagi
dirinya sendiri’, dan sebagainya, dan juga berbagai dalil, yang semua itu
dipandang sebagai kebenaran-kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi, dan
dari kebenaran-kebenaran tersebut, ia berusaha menyimpulkan kebenaran-kebenaran
yang lain mengenai kenyataan, Tuhan, manusia dan kebaikan.
Dapatlah dikatakan, bagi seorang penganut rasionalisme, pengetahuan
diperoleh melalui kegiatan akal pikiran atau akal budi ketika akal menangkap
berbagai hal yang dihadapinya pada masa hidup seseorang. Selain itu dalam hal
ini tidak ada penyimpulan yang begitu saja terjadi mengenai kedudukan ontologis
dari suatu yang diketahui. Seperti hanya pengalaman, orang mengatakan bahwa apa
yang dialami tentu mempunyai hakekat yang sedemikian rupa (setidak-tidaknya
untuk sebagian) sehingga dapat merangsang alat inderawi. Begitu pula halnya
dengan akal, terdapat ketentuan bahwa apa yang diketahui pasti dalam hal
tertentu mempunyai hakekat yang sedemikian rupa sehingga dapat diketahui oleh
akal.
Seorang penganut rasionalisme tidaklah memandang pengalaman sebagai hal
yang tidak mengandung nilai. Bahkan sebaliknya, ia mungkin mencari
pengalaman-pengalaman selanjutnya sebagai bahan pembantu atau sebagai pendorong
dalam penyelidikannya untuk memperoleh kebenaran. Dan ia mungkin mengadakan
pembedaan antara pengetahuan dengan pendapat, pengetahuan merupakan hasil
kegiatan akal yang mengolah hasil tangkapan yang tidak jelas yang timbul dari
indera, ingatan atau angan-angan kita.
Secara demikian, jika saya mengatakan bahwa saya melihat suatu pohon,
maka saya tidak mempunyai pengetahuan, melainkan hanya pendapat, karena saya
membuat pernyataan itu sebagai hasil penyimpulan yang diperoleh dari tangkapan
penglihatan mata tertentu dan dari ingatan-ingatan tertentu yang sekarang saya
punyai. Mata saya mungkin menipu saya atau ingatan saya hanya dapat mengatakan
bahwa saya melihat pohon, dan sebagai akibatnya saya tidak dapat mengatakan
bahwa saya mempunyai pengetahuan tentang pohon[6].
Tetapi jika saya mengatakan bahwa 2+2=4 atau bahwa bagi setiap kejadian
tentu ada lasan mengapa hal itu terjadi, maka saya mempunyai pengetahuan
mengenai hal-hal tersebut berdasarkan atas penalaran. Ini sama sekali bukan
masalah pendapat, karena tidak mungkin untuk mengingkarinya atau bahkan untuk
memahami sesuatu seperti bahwa 2+2=5 atau bahwa ada kejadian-kejadian yang
tidak beralasan untuk terjadi. Kita tidak dapat membayangkan dalam pikiran
tentang dunia yang kacau-balau. Maka bagi seorang penganut rasionalisme, ukuran
kebenaran ialah kemustahilan untuk mengingkari dan untuk dipahamkan yang
sebaliknya.
Dalam karya Descartes, ia menjelaskan pencarian kebenaran melalui metode
keragu-raguan. Karyanya yang berjudul A Discourse on Methode
mengemukakan perlunya memerhatikan empat hal berikut :[7]
1. Kebenaran baru dinyatakan shahih jika telah benar-benar indriawi dan
realitasnya telah jelas dan tegas (clearly and distinictly) sehingga
tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
2. Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sampai sebanyak mungkin
bagian sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
3. Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana
dan mudak diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan
kompleks.
4. Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, harus dibuat
perhitungan yang sempurna serta pertimbangan yang menyeluruh sehingga diperoleh
keyakinan bahwa tidak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam
penjelajahan itu.
Rene Descartes tidak begitu saja menerima kebenaran
atas dasar pancaindra. Pada dasarnya ia tetap bersikukuh bahwa semua yang dilihatnya
harus diragukan kebenarannya dan setiap yang telah terlihat jelas dan tegas
harus dipilih-pilih hingga mendapatkan bagian-bagian yang kecil. Berdasarkan
aturan-aturan tersebut, Descartes mengembangkan pikiran filosofisnya .ia
sendiri meragukan apakah sekarang sedang berdiri menyaksikan relitas yang
tampak di matanya atau sedang tidur dan bermimpi. Sebagaimana ia meragukan
dirinya apakah sedang sadar atau sedang gila.Keraguan Rene Descartes sangat
rasional, karena tidak ada perbedaan signifikan antara kenyataan dalam mimpi
dan kenyataan ketika terjaga, karena gambarannya sama. Sebagaimana seseorang
yang bermimpu bertemu dengan kakeknya, kemudian ia benar-benar bertemu dengan
kakeknya. Apakah yang benar itu ketika tertidur atau terjaga, karena hasilnya
tidak ada perbedaan. Bahkan ketika seseorang pernah melihat kuda dan melihat sayap, lalu ia meluhat kuda yang
sedang terbang dengan sayapnya. Sebuah kenyataan yang berawal dari dua
kenyataan yang berbeda karena kuda dan sayap semula tidak bersatu, tetapi apa
yang dilihat bisa saja menjadi satu. Oleh karena itu, keraguan terhadpa semua
yang dilihat sangat beralasan karena terlalu banyak tipu daya terhadap
pembuktian kebenaran hakiki.[8]
Descartes menyimpulkan bahwa selain dari Allah ada
dua substansi. Pertama, jiwa yang hakikinya adlah pemikiran. Kedua,
materi yang hakikatnya adlah keluasan. Akan tetapi, karena Descartes telah
menyangsikan adanya dunia di luar aku, sekarang ia mengalami banyak kesulitan
untuk membuktikan keberadaannya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk
menerima adanya dunia material adalah bajwa Allah akan menipuku jika sekiranya
ia memberi aku ide keluasan, sedangkan di luar tidak ada sesuatu pun
yang sesuai dengannya. Dengan demikian, keberadaan yang sempurna yang ada di
luar aku tidak akan menemuku, artinya dunia material lain yang keberadaannya
tidak diragukan, bahlan sempurna. Descartes memandang bahwa manusia merupakan
makhluk dualitas. Manusia terdiri atas dua substansi, yaitu jiwa dan tubuh,
jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. sebenarnya tubuh adalah mesin
yang dijalankan oleh jiwa. karena Setiap substansi yang satu dama sekali
terpisah dari substansi yang lain, nyata bahwa Descartes menganut dualism
tentang manusia. Oleh sebab itu, ia mempunyai banyak kesulitan untuk
mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh.
Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara tubuh dan jiwa berlangsung dalam glandula
pinealis (sebuah kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil). Akan
tetapi, akhirnya pemecahan ini tidak memadai bagi Descartes.[9]
B. Kebenaran Empiris
Kata empiris ini berasal dari kata Yunani ‘empeirikos’ yang berarti
pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman-nya. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi. Empirisme
ini sangat bertentangan dengan aliran rasionalisme, terutama dilihat dari
sumber pengetahuannya.[10]
Penganut empirisme berpandangan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan
bagi manusia, yang jelas-jelas mendahului rasio. Tanpa pengalaman, rasio tidak
memiliki kemampuan untuk memberikan gambaran tertentu, kalaupun menggambarkan
sedemikian rupa, tanpa pengalaman, hanyalah khayalan belaka.[11]
Tentang teori makna sangat berdekatan dengan aliran positivism logis (logical
positivisme) dan filsafat Ludwig Wittegenstein. Akan tetapi, teori makna
dan empirisme selalu harus dipahami melalui penafsiran pengalaman. Oleh karena
itu, bagi orang empiris jiwa dapat dipahami sebagai gelombang pengalaman
kesadaran, materi sebagai pola (pattern) jumlah yang dapat diindra, dan
hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama.[12]
Akal semacam tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil
pengindraan. Hal ini berarti bahwa semua pengetahuan manusia betapa pun
rumitnya dapat dilacak kembali sampai pada pengalaman-pengalaman indrawi yang
telah tersimpan rapi di dalam akal. Jika terdapat pengalaman yang tidak tegali
olegg daya ingatan akal, itu berarto merupakan kelemahan akal, sehingga hasil
pengindraan yang menjadi pengalaman manusia tidak lagi dapat diakutualisasikan.
Dengan demikian, bukan lagi sebagai ilmu pengetahuan yang factual.[13]
Mereka yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada
pengalaman inderawi, dan apa yang tidak dapat dialcak secara demikian itu
dianggap bukan pengetahuan, dinamakan penganut ‘empirisisme radikal’ (atau
penganut pengetahuan, dinamakan penganut ‘empirisisme radikal’ (atau penganut
‘sensasionalisme’). Tetapi tidak semua penganut empirisisme merupakan penganut
sensasionalisme.[14]
Di antara mereka ada yang mengatakan kita dapat mengetahui suatu corak
pengetahuan yang tidak dapat dikembalikan kepada penginderaan, sekalipun
dikatakan pula bahwa hal itu bukanlah menyangkut pengetahuan mengenai
eksistensi.
Contohnya, adalah mungkin bagi kita untuk mengetahui tanpapengalaman sama
sekali bahwa suatu kertas misalnya berwarna putih atau tidak berwarna putih,
karena kita dapat mengatakan bahwa segala hal merupakan A atau bukan A. Dengan
cara yang sama saya juga dapat mengetahui tanpa menunjuk pada pengalaman
inderawi bahwa suatu segitiga merupakan bidang datar yang berisi tiga, karena
memang demikianlah cara saya mendefinisikan segitiga. Sementara penganut
empirisisme radikal mengatakan bahwa kedua contoh tersebut bukanlah
pengetahuan, tetapi hanya menerangkan bagaimana kita menggunakan kata-kata. Di
dalam contoh yang pertama yang didasarkan atas keadaan bahwa secarik kertas
berwarna putih atau tidak berwarna putih, kita tidak dapat mengetahui warna
yang manakah yang dipunya oleh kertas tersebut. Di dalam contoh mengenai
segitiga tadi, kita hanya dapat memberikan nama dan tidak dapat mengetahui
apakah suatu segitiga bereksistensi ataukah tidak.pengalaman tiada lain merupakan
akibat suatu objek yang merangsang alat inderawi, yang secara demikian
menimbulkan rangsangan syaraf yang diteruskan ke otak. Di dalam otak, sumber
rangsangan tadi dipahami sebagaimana adanya atau berdasarkan atas rangsangan
tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang
alat inderawi tadi. Menurut penganut empirisisme, begitulah pengetahuan
terjadi.[15]
Ditinjau dari sudut epistemology khususnya dari pandangan empiris
pengalaman kadang-kadang menunjuk hanya pada hasil penginderaan. Sebab itu,
dapatlah dinamakan ‘datum indera’. Kedudukan yang bersifat ontologis
dari data indera kita ini tidaklah dipersoalkan sekarang. Dan hendaknya
diketahui, dalam batas-batas tertentu, apa yang telah saya katakana tadi
tidaklah dapat ditarik kesimpulan bahwa dunia tersusun dari data indera
tersebut atau bahwa data indera pada hakekatnya bersifat kerohanian (idealism)
atau bahwa data indera itu bersifat kerohanian tetapi menunjuk pada ala,
semesta yang tidak bersifat kerohanian (realism), atau suatu pendirian yang
lain.
Saya juga tidak mengatakan apapun mengenai hakekat sesuatu yang
merangsang alat inderawi dan menimbulkan datum indera. Pada kesempatan ini saya
membicarakan keterangan penganut empirisisme tentang bagaimanakah cara kita
memperoleh pengetahuan. Ada banyak jenis empirisisme, tetapi pada hakekatnya
semuanya mengutamakan pengalaman inderawi dalam proses memperoleh pengetahuan.
Tokoh-tokoh aliran empirisme
yang pertama adalah Thomas Hobbes (1588-1679), yang lahir di Inggris pada saat
penyerbuan oleh Spanyol ke Inggris. Sebagaimana umumnya penganut empirisme,
Hobbes beranggapan bajwa pengalaman merupakan permulaan segala perhitungan,
yakni penggabungan data-data inderawi yang sama dengan cara yang berlainan.
Pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan di dalam
ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai
dengan apa yang telah diamati pada masa lalu. Yang kedua adalah John Lock
(1632-1704) dengan teori “tabularasa” mengemukakan bahwa rasio manusia harus
dipandang sebagai “lembaran kertas putih” (as white paper). Selain
Locke, juga terdapat tokoh lain yang terkenal dalam aliran empirisme ini adalah
David Hume (1711-1776),[16]
dan George Barkeley (1685-1753) yang berpandangan bahwa seluruh gagasan dalam
pikiran atau ide datang dari pengalaman dan tidak ada jatah ruang bagi gagasan
yanglepas begitu saja dari pengalaman. Oleh karena itu, idea tidak bersifat
independen. Pengalaman konkret adalah “mutlak” sebagai sumber pengetahuan utama
bagi manusia, karena penalaran bersifat abstrak dan membutuhkan rangsangan dari
pengalaman. Berbagai gejala fisikal akan ditangkap oleh indra dan dikumpulkan
dalam daya ingat manusia, sehingga pengalaman indrawi menjadi akumulasi
pengetahuan yang berupa fakta-fakta. Kemudian, upaya faktualisasinya dibutuhkan
akal. Dengan demikian, fungsi akal tidak sekadar menjelaskan dalam
bentuk-bentuk khayali semata-mata, melainkan dakam konteks yang realistic.[17]
Seorang penganut empirisme
biasanya berpendirian bahwa kita dapat memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman. Sifat yang menonjol dari jawaban ini dapat dilihat bila tidak bila
kita memperhatikan pertanyaan seperti “bagaimanakah orang mengetahui es
membeku?” jawaban kita tentu akan berbunyi, “karena saya melihatnya demikian itu,”
atau “karena seorang ilmuan telah melihatnya demikian.” Sama halnya dengan itu,
terhadap pertanyaan “bagaimana orang mengetahui Caesar telah dibunuh?”, maka
jawaban kita akan berbunyi, “karena seseorang yang ada di tempat itu dan
melihat kejadian tersebut, telah menerangkannya demikian.” Secara demikian
dapat dibedakan dua macam unsur. ‘yang mengetahui’ dan ‘yang diketahui’. Orang
yang mengetahui merupakan subjek yangmemperoleh pengetahuan dan dikenal dengan
suatu perkataan yang menunjukkan seseorang atau suatu kemampuan.[18]
Unsur ketiga yang dapat kita
bedakan dalam jawaban terhadap pertanyaan “bagaimana orang mengetahui bahwa es
situ membeku?” ialah keadaan kita besangkutan dengan ‘melihat’ dan ‘mendenganr’
atau suatu pengalaman inderawi yang lain. Bagaimana kita mengetahui apa itu
panas? Dengan menyentuh barang sesuatu dan memperoleh pengalaman yang kita
sebut ‘panas’. Bagaimanakah kita mengetahui apakah panas itu? Dengan
mempergunakan alat-alat inderawi peraba. Dengan perkataan lain, pertanyaan
“bagaimana anda mengetahui atau memperoleh pengetahuan?” dijawab dengan
menunjukkan pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.
C. Kebenara Ilmiah, Objektif, dan Konsisten
Munculnya rasionalisme dan
empirisme menjadi indicator lahirlah periode modern dalam alam pikiran barat.
Masing-masing ingin menang sendiri, rasionalisme meragukan semua pandangan
empirisme. Demikian juga, sebalinya empirisme memandang rasionalisme penuh
dengan subjektivitas dan sangat personalistik.[19]
Rasionalisme dan empirisme
adalah sebuah tesis dan antithesis yang akan melahirkan sintetis yang dimana
sintesis dalam kebenaran berbentuk kebenaran yang ilmiah, objektif, dan
konsisten.
Tesis adalah pernyataan atau
teori yang didukung oleh argumen yang dikemukakan dalam karya tulis ilmiah. dan
lawan dari tesis adalah anti-tesis yang kontra terhadap pernyataan yang
dikeluarkan. Dan seperti yang dikatakan oleh hegel bahwa segala sesuatu didunia
ini akan selalu berwanan yang akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik yaitu
yang dinamakan sintesis.
Rasionalisme adalah bentuk
tesis yang mempunyai keyakinan bahwa kebenaran itu berasal dari akal, dan
sumber dari sebuah pengetahuan, karena pada dasarnya sebuah pengetahuan adalah
sebuah pemikiran yang dilakukan oleh akal. Apa yang benar-benar dilihat oleh
indrawi bukan semata-mata bahwa itu adalah kebenaran, bahkan menurut Descartes
segala sesuatu yang ditangkap oleh indrawi harus di ragu-ragukan karena
sesungguhnya itu bukan suatu kebenaran.
Dan sedangkan empirisme
berbentuk antithesis yang dimana kontra terhadap tesis yang mempunyai pandangan
bahwa pengalaman adalah suatu ilmu pengetahuan, karena sesungguhnya tanpa
pengalaman, rasio tidak memiliki kemampuan untuk memberikan gambaran tertentu,
kalaupun menggambarkan sedemikian rupa, tanpa pengalaman, hanyalah khayalan
belaka.
Kebenaran empiris benar adanya
menurut apa yang dilihat dan dialaminya, dan kebenaran rasional benar adanya
menurut apa yang ada di akalnya, tetapi untuk menemukan kebenaran secara ilmiah
kita perlu kebenaran empiris yang jelas-jelas sebagai acuan dari pengetahuan di
masa lalu untuk dijadikan ilmu di masa yang akan datang, yang dibantu oleh akal
yang merupakan alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes
pengetahuan.
Kebenaran secara objektif adalah
kebenaran yang berdasarkan data-data yang dapat dipertanggung jawabkan dan
benar adanya, untuk mendapatkan kebenaran yang objektifk tidak bisa hanya
menggunakan menurut rasional saja, karena kebenaran objektif memerlukan
data-data yang autentik yang tidak bisa hanya menggunakan akal saja dalam
mendapatkannya. Begitupun tidak bisa hanya menggunakan metode empiris saja dalam
mendapatkannya, karena sebuah pengetahuan tidak selamanya dikembalikan kepada
sebuah pengindraan.
Dan, kebenaran konsisten
adalah kebenaran yang tidak berubah-ubah ketika terhadap apapun yang terjadi
kepada kita.
D. Dialektika kebenaran empiris dan rasional
Ajaran Hegel menyatakan bahwa
yang menyatakan segala sesuatu yang terdapat di alam semesta itu terjadi dari
hasil pertentangan antara dua hal dan yang menimbulkan hal lain lagi.
Kebenaran adalah persesuaian
antara pengetahuan dan objek yang juga bisa diartikan suatu pendapat atau
perbuatan seseorang yang bisa diterima dan tidak bertentangan dengan orang
lain.
Empiris adalah ilmu
pengetahuan yang didapat menurut pengalaman yang secara indrawi.
Rasional adalah ilmu
pengetahuan yang didapat dari akal.
Dialektika kebenaran empiris
dan rasional adalah bagaimana menemukan kebenaran yang secara ilmiah, objektif,
dan konsisten.
Untuk menemukan kebenaran
yang ilmiah, objektif, dan konsisten tidak bisa hanya dilakukan dengan
kebenaran rasional saja, karena sudah dikatakan bahwa kebenaran rasional
membutuhkan kebenaran empiris sebagai rangsangan bagi akalnya.
Dan untuk menemukan kebenaran
yang ilmiah, objektif, dan konsisten tidak bisa hanya dilakukan dengan
kebenaran empiris saja, karena untuk menemukan kebenaran yang ilmiah, empiris
memerlukan akal dalam menemukan kebenaran secara ilmiah.
[1] Beni Ahmad Saebani, FILSAFAT ILMU, Bandung: Pustaka Setia,
2009, hlm. 83
[2] A. Susanto, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, hlm.
141
[3] Beni Ahmad Saebani, FILSAFAT ILMU, Bandung: Pustaka Setia,
2009, hlm. 84-85
[4] Beni Ahmad Saebani, FILSAFAT ILMU DAN METODE PENELITIAN,
Bandung: Pustaka Setia, 2015, hlm. 136
[5] LOUIS O. KATTSOFF, PENGANTAR FILSAFAT, Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, Hlm. 136
[7] Beni Ahmad Saebani, FILSAFAT ILMU DAN METODE PENELITIAN,
Bandung: Pustaka Setia, 2015, hlm. 136-137
[8] Beni Ahmad Saebani, FILSAFAT ILMU DAN METODE PENELITIAN,
Bandung: Pustaka Setia, 2015, hlm. 137
[10] A. Susanto, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, hlm.
37-38
[11] Beni Ahmad Saebani, FILSAFAT ILMU, Bandung: Pustaka Setia,
2009, hlm. 94
[12] Beni Ahmad Saebani, FILSAFAT ILMU DAN METODE PENELITIAN,
Bandung: Pustaka Setia, 2015, hlm. 138
[14] LOUIS O. KATTSOFF, PENGANTAR FILSAFAT, Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, Hlm. 133
[16]A. Susanto, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, hlm.
38
[17] Beni Ahmad Saebani, FILSAFAT ILMU, Bandung: Pustaka Setia,
2009, hlm. 95
[18] LOUIS O. KATTSOFF, PENGANTAR FILSAFAT, Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, Hlm. 133
[19]Beni Ahmad Saebani, FILSAFAT ILMU, Bandung: Pustaka Setia,
2009, hlm. 96